~~Kekerasan di Bidang Pendidikan~~

PRESIDEN SBY sempat menyoal masalah tradisi kekerasan dalam lembaga pendidikan
pembentukan kader pemimpin sipil dan militer/Polri. Pertama, pada saat
pelantikan Pamong Praja Muda IPDN Angkatan XIII/2005 tanggal 8 Agustus 2005 di
Kampus IPDN Jatinangor Jawa Barat, Presiden SBY menegaskan, "agar budaya
kekerasan dihentikan saat ini juga". Pernyataan presiden ini diungkapkan
sebagai suatu keprihatinan, karena beberapa waktu yang lalu kasus insiden
"kekerasan" sempat terjadi di kampus tersebut.

Kedua, pada saat pengarahan kepada taruna Akademi Militer (Akmil) di Magelang
tanggal 6 Desember 2005, Presiden SBY kembali menegaskan keinginannya agar
lembaga pendidikan militer/polisi "menjauhi gaya kepemimpinan dengan tradisi
kekerasan". Presiden juga menekankan bahwa gaya kepemimpinan yang harus
dijadikan teladan adalah tradisi kepemimpinan yang persuasif. Kalaupun terpaksa
harus menerapkan hukuman, hendaknya dilakukan secara tepat, efektif, dan
edukatif. Pada prinsipnya penulis sepakat dengan imbauan presiden tersebut.
Pembentukan budaya (karakter) kepemimpinan seorang kader perwira harus dimulai
pembinaannya sejak dini dari lembaga pendidikan.

Pertanyaannya adalah apakah selama ini imbauan presiden tersebut tidak pernah
diindahkan oleh pimpinan Polri dan pembina Akpol? Kalau sudah terjadi demikian,
bagaimana kita sebaiknya memandang duduk persoalannya. Dalam hal ini pertanyaan
selanjutnya adalah apakah yang "salah" dengan model pendidikan militer/Polri di
Indonesia? Tulisan berikut mencoba mengulas kembali kaitan antara budaya
"kekerasan" tersebut dengan masalah kepemimpinan perwira militer/Polri. Tulisan
ini bertendensi untuk meluruskan isu krusial tersebut, agar opini sebagian
masyarakat tidak "bias" terhadap iktikad pemulihan citra TNI/Polri saat ini.

Masalah kepemimpinan adalah salah satu hal yang penting dalam pembinaan
organisasi baik di kalangan organisasi militer maupun organisasi nonmiliter
(sipil). Dalam konteks ini antara lain mencakup gaya kepemimpinan yang dapat
dipengaruhi oleh faktor budaya (tradisi). Permasalahannya adalah sejauh mana
faktor budaya tersebut dapat memengaruhi gaya kepemimpinan seseorang calon
pemimpin. Penjelasannya dapat kita lihat pada penerapan sistem dan metode
pendidikan yang diterima oleh para calon pemimpin tersebut di masing-masing
organisasi.

Khusus di lingkungan organisasi militer (TNI)/Polri, pembentukan kepemimpinan
para calon perwiranya biasanya diawali secara formal pada proses pendidikan
yang diterima pertama kali di lembaga pendidikan, yaitu di Akademi
TNI/Kepolisian RI, sekolah perwira atau sekolah calon perwiranya. Kekhasan
pendidikan militer/kepolisian di manapun di dunia ini terletak pada faktor
kedisiplinan dan keketatan dalam menerapkan sistem pendidikan. Tujuan
pendidikan (khususnya pembentukan perwira militer/Polri) pada prinsipnya untuk
membentuk seorang pemimpin militer /polisi profesional dalam pelaksanaan tugas
pertempuran/memelihara keamanan masyarakat.

Karena tugas pokok seorang perwira adalah memimpin pelaksanaan
pertempuran/penjagaan keamanan masyarakat dengan menggunakan "senjata", suasana
pendidikan yang "keras" sengaja diciptakan. Tidak mengherankan jika setiap
pendidikan militer/polisi akan berpotensi untuk terjadinya "kekerasan". Hal ini
terjadi, apabila tidak ada norma-norma yang tegas dan pengawasan yang ketat
terhadap penerapannya di lapangan. Persoalannya adalah dinamika di lapangan
bisa terjadi di "luar kontrol" dari penentuan kurikulum formal. Padahal
kurikulum tersebut sudah disusun sedemikian rupa, agar tidak terjadi ekses
"kekerasan". Dengan kata lain, kemungkinan ekses "kekerasan" dapat terjadi di
mana pun sebagai "risiko" dari setiap kegiatan pendidikan militer/polisi.

Kaitannya dengan masalah kepemimpinan, dapat dijelaskan dari pembahasan
berikut. Sejauh mana gaya kepemimpinan para perwira terbentuk dalam suatu
"tradisi" pendidikan mendukung bagi timbulnya fenomena "kekerasan". Secara
hipotesis bisa dikatakan bahwa semakin intensif dilaksanakan penonjolan materi
pembinaan fisik, tanpa dilandasi secara proporsional oleh materi pembinaan
mental kepribadian, dimungkinkan akan terjadi ekses "kekerasan". Penyajian
materi pelajaran sesuai kurikulum pada pendidikan pembentukan perwira di setiap
matra/Polri pada prinsipnya menempuh 3 (tiga) kegiatan, yaitu pembekalan,
pelatihan, dan bimbingan pengasuhan. Semua program kegiatan ini direncanakan
sedemikian rupa agar tujuan pendidikan pembentukan perwira dapat tercapai.

Ketiga kegiatan ini sebenarnya dilaksanakan secara terpadu dalam satu paket
kurikulum yang meliputi materi pelajaran kepribadian, intelegensia, dan fisik.
Bila dilihat dari kapasitas materinya, jelas tidak ada yang didesain sengaja
untuk mengarah kepada terciptanya tindakan "kekerasan". Sebagaimana diketahui
semua latihan fisik yang diberikan memang tersaji dalam metode dan proses
kegiatan yang sangat "ketat", "berat", dan "keras". Meskipun demikian selalu
diimbangi dengan penyajian materi pembinaan mental (rohani, ideologi, dan etika
moral) yang berpedoman pada kode etik masing-masing. Khusus bagi perwira TNI
sudah sejak awal pendidikan telah ditanamkam sikap perilaku yang sesuai dengan
kode etiknya "Budhi Bhakti Wira Utama", yang jelas tidak menoleransi budaya
"kekerasan".

Tradisi senioritas

Di samping ketatnya penyajian kurikulum ini, ternyata tidak tertutup
kemungkinan terjadi "kecolongan". Hal ini bisa terjadi melalui kegiatan tradisi
di luar kurikulum, baik disengaja maupun tidak disengaja untuk mendukung proses
bimbingan pengasuhan, antara taruna senior dan junior. Kalaupun kemudian ini
terjadi (dan hal ini sangat disayangkan) di luar kontrol para pembina/pengasuh.
Tetapi bagaimanapun tetap menjadi tanggung jawab pimpinan lembaga pendidikan
masing-masing untuk selalu dapat mengontrol dan mengendalikannya.

Bisa dipahami di setiap akademi militer/polisi selalu sarat dengan penonjolan
pembinaan materi fisik dan penyajian latihan dasar kepemimpinan yang
berulang-ulang. Secara psikologis tidak menutup kemungkinan timbul kondisi
"kejenuhan" yang dapat memunculkan ekses "kekerasan". Hal ini biasanya terjadi
dalam perlakuan taruna senior kepada para juniornya, bila ada pelanggaran
disiplin. Lagi pula hal ini bisa sering terjadi, karena ditoleransinya selama
ini keikutsertaan para taruna senior untuk ikut "membantu"
pembina/pengasuh/pelatih untuk membentuk mental dan fisik para juniornya.
Tentunya yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tindakan hukuman fisik sebatas
yang bersifat mendidik. Misalnya dengan hukuman push-up, sit-up, lari, dan
sebagainya.

Sangat disayangkan yang terjadi malah tindakan yang kebablasan. Para senior
adakalanya menghukum para junior dengan cara "kekerasan" (seperti memukul,
menendang, malah menganiaya) sampai melewati kewajaran, apabila terdapat
melakukan pelanggaran. Awalnya memang "tradisi" seperti ini dimaksudkan agar
para taruna senior ikut mendukung bagi terbentuknya "karakter" yang diharapkan
bagi seorang calon perwira. Sebaliknya kesempatan ini malah "disalahgunakan"
untuk aksi "balas dendam" yang sudah mentradisi turun-temurun selama ini di
luar kurikulum. Akibat dari tradisi yang mengkondisi dalam hubungan taruna
senior dan junior tersebut, ternyata akhirnya ikut "mencederai" karakter
kepemimpinan yang terbentuk di luar jalur formal.

Hubungan yang demikian dapat memunculkan sikap arogansi yang seolah-olah senior
never wrong. Akibatnya muncul sikap "loyalitas tegak lurus ke atas", dominannya
sikap "komandan" yang otoriter, ingin diperlakukan sebagai "Raja" atau
"Penguasa" dan sebagainya. Hal ini ditambah pula dengan pomeo di masyarakat
yang mendukung sikap ini, bahwa "kalau tidak begitu bukan calon jenderal".
Apalagi sikap pemerintahan Orde Baru saat itu tampak cenderung
"menganakemaskan" calon pemimpin militer/Polri. Hal ini terbukti melalui
pelantikan taruna Akabri secara khusus oleh Presiden Soeharto di Istana Negara
pada setiap tahun. Sementara pelantikan Pamong Praja Muda APDN/STPDN cukup oleh
Menteri Dalam Negeri ketika itu.

Dampak lebih jauh dari tradisi senioritas kepemimpinan (perwira) yang demikian
adalah terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkan selanjutnya saat bertugas di
satuan-satuan operasional militer/kepolisian. Ternyata tradisi yang bergaya
"neofeodal" dan "elitis" ini masih terus berlanjut. Hal ini tampak dengan
dominannya gaya kepemimpinan sebagian perwira dalam penonjolan sikap dan
perilaku "komandan" yang berlebihan.

Pada prinsipnya aplikasi gaya kepemimpinan seperti ini jelas tidak kondusif dan
efektif bagi pembinaan satuan militer/polisi. Khusus bagi kepolisian yang dalam
pelaksanaan tugasnya berbeda dengan militer, dampaknya sangat luas bagi
citranya sebagai pengayom masyarakat. Dampak negatif dapat dirasakan oleh
setiap anggota bawahan (golongan bintara dan tamtama). Hal ini mengemuka dalam
ekses "kekerasan" (represif) yang timbul dalam hubungan kepemimpinan antara
atasan dan bawahan. Penegakan hukum dan disiplin terhadap anggota bawahan di
satuan sarat dengan pendekatan represif tersebut. Lihat, misalnya kasus
pemukulan seorang kapolwil terhadap anggotanya di Polda Jawa Barat pada tahun
2005 yang lalu.

Secara sosio-psikologis kondisi yang demikian akhirnya berpengaruh terhadap
timbulnya indikasi sikap dan perilaku prajurit militer/bhayangkara polisi yang
cenderung "menyimpang". Hal ini dapat dilihat dalam berbagai kasus pelanggaran
yang timbul baik di homebase maupun di daerah operasi/lingkungan masyarakat
selama ini. Tentu dalam konteks ini setiap kasus "pelanggaran" prajurit
militer/bhayangkara polisi "yang berekses kekerasan" pada prinsipnya bisa
ditelusuri sebagai akibat dari hasil kepemimpinan lapangan para perwira di
satuan-satuan militer/kepolisian.

Malahan sayangnya pada masa-masa Orde Baru (pada saat Polri masih bergabung
dengan TNI) tampak fenomenal bahwa tradisi masyarakat dan kepentingan
pemerintah yang berkuasa saat itu menjadi kondusif bagi pembetukan gaya
kepemimpinan. Gaya kepemimpinan seperti ini diterapkan melalui pendidikan calon
pemimpinnya. Termasuk dalam hal ini model pendidikan perwira militer/polisinya.
Sadar atau tidak sadar, budaya masyarakat dan elite pemerintah yang cenderung
paternalistis, elitis, dan neo-feodalistis pada kenyataannya secara masif
memengaruhi "tradisi" kepemimpinan pada pendidikan pembentukan calon perwira
militer/polisi selama Orde Baru.

Untuk itu, kembali kepada imbauan presiden, penulis yakin bahwa beliau paham
benar bahwa secara formal pembinaan kepemimpinan perwira militer/polisi tidak
ada yang salah. Hanya, sebagai mantan perwira yang berpandangan progresif
demokratis, beliau secara terbuka mengakui bahwa ada "kesalahan" dalam tradisi
kepemimpinan perwira militer/polisi di masa lalu. Artinya selama ini secara
sadar atau tidak sadar sebagian "oknum" perwira telah pernah menerapkan tradisi
kepemimpinan yang sarat dengan "kekerasan".

Iktikad baik Presiden SBY pada hemat penulis hendaknya agar dapat
ditindaklanjuti oleh pimpinan TNI/Polri. Dalam hal ini sebagai bagian dari
kebijakan reformasi internal TNI/Polri, pertama-tama yang perlu dibenahi adalah
kurikulum pendidikan perwira agar kondusif bagi pembinaan kader kepemimpinan.
Penyajian materi kepemimpinan militer/Polri hendaknya diikuti secara konsisten
dengan arahan aplikasinya di lapangan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi
penyimpangan-penyimpangan sebagai ekses kekerasan dalam pendidikan perwira.
Selanjutnya yang paling penting adalah komitmen para pemimpin
/pembina/gumil/pelatih/pengasuh di lembaga-lembaga pendidikan masing-masing
untuk melaksanakan sungguh-sungguh imbauan presiden tersebut.

Dilihat dari filosofi yang mendasari sistem pendidikan TNI/Polri, pada salah
satu prinsipnya ditekankan bahwa dalam setiap proses belajar- mengajar harus
mengutamakan "Harkat Insani". Ini berarti secara edukatif jelas bahwa kurikulum
pendidikan yang diajarkan di lingkungan TNI/Polri harus memerhatikan adanya
penegakan HAM di kalangan prajurit militer/kepolisian. Kode Etik Kehormatan
Perwira yang dimiliki TNI/Polri sebenarnya secara substansial juga sarat dengan
penegakan Hukum/HAM. Hanya saja persoalannya bagaimana implementasinya
dilaksanakan secara konsisten.

Hubungan kepemimpinan senior-junior di lingkungan TNI/Polri niscaya memang
tidak dapat dihindari. Hanya, bagaimana "tradisi" pembinaan kepemimpinan
perwira dapat dikendalikan, melalui pendekatan persuasif dan kontekstual, agar
tidak menimbulkan ekses "kekerasan" di kemudian hari. Semoga! ***

Hari Pertama X-2

Hari pertama kali mulai bersekolah. Hari dimana kami berkenalan satu dengan yang lain. Meski belum saling kenal, tapi kami mencoba untuk saling kenal. Dan juga kami merasa bahwa guru-guru di SMADAJOE itu baik semuanya dan juga ada yang lucu. 

Kami juga merasa bahwa belajar di sekolah tersebut mungkin saja bisa  sangat menyenangkan, dan mungkin bisa juga sangat menegangkan, karena bisa saja guru marah karena perbuatan kami.

Tapi, meski begitu, siswa siswi di Kelas X-2 kan mencoba tuk lebih maju!! Go Pholcom!!

~X-2 Community~
 

© Copyright SMAN 2 Jombang . All Rights Reserved.

Designed by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine

Blogger Template created by Deluxe Templates